Minggu, 05 November 2017

Pendidikan Karakter dalam Teori Pendidikan Ki Hajar Dewantara

Pengertian pendidikan karakter
Pendidikan dalam konteks sekarang kurang relevan untuk mengatasi krisis moral yang sedang melanda di negara Indonesia. Krisis tersebut antara lain berupa meningkatnya pergaulan bebas, maraknya angka kekerasan anak-anak dan remaja, kejahatan terhadap teman, pencurian remaja, kebiasaan menyontek, penyalahgunaan obat-obatan, pornografi, dan perusakan milik orang lain sudah menjadi masalah sosial yang hingga saat ini belum dapat diatasi secara tuntas.
Pendidikan karakter menjadi wacana yang telah lama dibicarakan oleh berbagai pihak dalam kaitannya dengan generasi Indonesia seperti, apa yang hendak dihasilkan untuk menggantikan generasi sebelumnya. Wacana pendidikan karakter telah ada pula sebelum kemerdekaan atau sebelum terbentuknya Republik Indonesia. Diantaranya adalah tokoh pendidikan nasional yang turut serta memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui bidang pendidikan, yang merupakan bapak pendidikan Nasional yaitu Ki Hajar Deawantara. Sepak terjang Ki Hajar Dewantara di dunia pendidikan sudah tidak diragukan lagi, peranan Ki Hajar Dewantara sangat besar dalam sejaran pendidikan tanah air.
Ki Hajar Dewantara menyebutkan bahwa pendidikan adalah:
“Menuntun segala kekuatan kodrat jang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya” (Tamansiswa, 1977 : 20).

Ki Hajar Dewantara mengungkapkan pengertian pendidikan adalah:
Pendidikan, umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin dan karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak; dalam pengertian Taman siswa tidak boleh dipisah-pisahkan bagian-bagian itu agar supaya kita dapat memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras dengan dunianya”( Tamansiswa, 1977: 14).
Definisi pendidikan yang dikembangkan Ki Hajar Dewantara, menunjukkan bahwa Ki Hajar Dewantara memandang pendidikan moral sebagai suatu proses yang dinamis dan berkesinambungan. Disini tersirat pula wawasan kemajuan, karena sebagai proses pendidikan harus mampu menyesuaikan diri dengan tuntunan kemajuan zaman. Keseimbangan unsur cipta, rasa dan karsa yang tidak dapat dipisah-pisahkan ini memperlihatkan bahwa Ki Hajar Dewantara tidak memandang pendidikan hanya sebagai proses penulasan atau transfer ilmu pengetahuan transfer of knowladge. Hal ini sesuai dengan kondisi yang dihadapi oleh Ki Hajar Dewantara bahwa pendidikan pada masa itu (kolonial Belanda) penuh dengan semangat keduniawian (materialism), penalaran (intellectual)
Ki Hajar Dewantara mendefinisikan pendidikan adalah sebagai daya dan upaya yang dilakukan untuk memajukan bertumbuhnya budipekerti, kekuatan batin, karakter, pikiran dan tubuh anak agar dapat mencapai kesempurnaan hidup, yaitu kehidupan dan penghidupan anak-anak peserta didik dapat selaras dengan dunianya (Tamansiswa. 1967:15).
Pendidikan yang dimaksud oleh Ki Hajar Dewantara memperhatikan keseimbangan cipta, rasa, dan karsa tidak hanya sekedar proses alih ilmu pengetahuan saja atau transfer of knowledge, tetapi sekaligus pendidikan juga sebagai proses transformasinilai (transformation of value). Dengan kata lain pendidikan adalah proses pembentukan karakter manusia agar menjadi sebenar-benar manusia.
Sedangkan karakter dalam istilah sederhananya adalah pendidikan budi pekerti, kata karakter berasal dari bahasa inggris character, artinya watak. Ki Hajar Dewantara telah jauh berpikir dalam masalah pendidikan karakter, mengasah kecerdasan budi sungguh baik, karena dapat membangun budi pekerti yang baik dan kokoh, hingga dapat mewujudkan kepribadian (persoonlijkhheid) dan karakter (jiwa yang berasas hukum kebatinan). Jika itu terjadi orang akan senantiasa dapat mengalahkan nafsu dan tabiat-tabiatnya yang asli bengis, murka, pemarah, kikir, keras, dan lain-lain (Tamansiswa. 1977: 24).

Tujuan pendidikan karakter
Tujuan pendidikan bagi Ki Hajar Dewantara adalah membangun anak didik menjadi manusia yang merdeka lahir batin, luhur akal budinya serta sehat jasmaninya untuk menjadi anggota masyarakat yang berguna dan bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa, tanah air serta manusia pada umumnya (Suparlan. 1984: 109). Ki Hajar Dewantara mengungkapkan bahwa pendidikan merupakan proses pembudayaan yaitu suatu usaha memberikan nilai-nilai luhur kepada generasi baru dalam masyarakat yang tidak hanya bersifat pemeliharaan tetapi juga dengan maksud memajukan serta memperkembangkan kebudayaan menuju kearah keluhuran budaya manusia.
Upaya kebudayaan (pendidikan) dapat ditempuh dengan sikap yang dikenal dengan teori Trikon, yaitu ;
1)      Kontinuitas yang berarti bahwa garis hidup kita sekarang harus merupakan lanjutan dari kehidupan kita pada zaman lampau berikut penguasaan unsur tiruan dari kehidupan dan kebudayaan bangsa lain,
2)      Konvergensi yaitu berarti kita harus menghindari hidup menyendiri, terisolasi dan mampu menuju kearah pertemuan antar bangsa dan komunikasi antar negara menuju kemakmuran bersama atas dasar saling menghormati, persamaan hak, dan kemerdekaan masing-masing,
3)      Konsentris yang berarti setelah kita bersatu dan berkomunikasi dengan bangsa-bangsa lain di dunia, kita jangan kehilangan kepribadian sendiri. Bangsa Indonesia adalah masyarakat merdeka yang memiliki adat istiadat dan kepribadian sendiri, meskipun bertitik pusat satu, namun dalam lingkaran yang konsentris masih tetap memiliki lingkaran sendiri yang khas yang membedakan negara Indonesia dengan negara yang lainnya (Tamansiswa. 1977: 206).

Dasar Pendidikan
Sistem pendidikan Ki Hajar Dewantara dikembangkan berdasarkan lima asas pokok yang disebut Pancadarma Taman Siswa, yang meliputi:
1)      Asas kemerdekaan,yang berarti disiplin diri sendiri atas dasar nilai hidup yang tinggi, baik hidup sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat,
2)      Asas kodrat alam,yang berarti bahwa pada hakikatnya manusia itu sebagai makluk, adalah satu dengan kodrat alam. Manusia tidak dapat lepas dari kodrat alam dan akan berbahagia apabila dapat menyatukan diri dengan kodrat alam yang mengandung kemajuan itu. Oleh karena itu, setiap individu harus berkembang dengan sewajarnya (Suparlan. 1984 :105),
3)      Asas kebudayaan,yang berarti bahwa pendidikan harus membawa kebudayaan kebangsaan itu ke arah kemajuan yang sesuai dengan kecerdasan zaman, kemajuan dunia dan kepentingan hidup lahir dan batin rakyat pada setiap zaman dan keadaan,
4)      Asas kebangsaan,yang berarti tidak boleh bertentangan dengan kemanusiaan, malah harus menjadi bentuk kemanusiaan yang nyata. Oleh karena itu asas kebangsaan ini tidak mengandung arti permusuhan dengan bangsa lain melainkanmengandung rasa satu dengan bangsa sendiri, satu dalam suka dan duka, rasa satu dalam kehendak menuju kepada kebahagiaan hidup lahir dan batin seluruh bangsa,
5)      Asas kemanusiaan,yang menyatakan bahwa darma setiap manusia itu adalah perwujudan kemanusiaan yang harus terlihat pada kesucian batin dan adanya rasa cinta kasih terhadap sesama manusia dan terhadap makluk ciptaan Tuhan seluruhnya (Surjomihardjo.1986: 88).


Pokok ajaran

1) Ing ngarsa sung tulada
Berarti guru sebagai pemimpin (pendidik) berdiri di depan dan harus Semboyan Ki Hajar Dewantara yang tidak kalah penting adalah konsep dasar pendidikan karakter yang sekaligus diterima sebagai prinsip kepemimpinan bangsa Indonesia yang dikenal sebagai sistem among, yang antara lain berbunyi:
mampu memberi teladan kepada anak didiknya. Guru harus bisa menjaga tingkah lakunya supaya bisa menjadi teladan. Dalam pembelajaran, apabila guru mengajar menggunakan metode ceramah, guru harus benar-benar siap dan tahu bahwa yang diajarkannya itubaik dan benar.

2) Ing madya mangun karsa
Berarti bahwa seorang pemimpin (pendidik) ketika berada di tengah harus mampu membangkitkan semangat, berswakarsa dan berkreasi pada anak didik. Hal ini dapat diterapkan bila guru menggunakan metode diskusi. Sebagai nara sumber dan sebagai pengarah guru dapat memberi masukan-masukan dan arahan,

3)      Tut wuri handayani
Yang berarti bahwa seorang pemimpin (pendidik) beradadi belakang, mengikuti dan mengarahkan anak didik agar berani berjalan di depan dan sanggup bertanggung jawab. Ketika guru berada di tengahmembangun semangat, di belakang memberi dorongan, dapat terjadi anak didik akan berusaha bersaing, berkompetisi menunjukkan kemampuannya yang terbaik (Soeratman. 1989 : 98).


Sumber
Anisah Nur.2015. Pendidikan Karakter Dalam Perspektif Ki Hajar Dewantara. Institut Agama Islam Negeri. Salatiga


Tidak ada komentar:

Posting Komentar