Pengertian
pendidikan karakter
Pendidikan
dalam konteks sekarang kurang relevan untuk mengatasi krisis moral yang sedang
melanda di negara Indonesia. Krisis tersebut antara lain berupa meningkatnya
pergaulan bebas, maraknya angka kekerasan anak-anak dan remaja, kejahatan
terhadap teman, pencurian remaja, kebiasaan menyontek, penyalahgunaan
obat-obatan, pornografi, dan perusakan milik orang lain sudah menjadi masalah
sosial yang hingga saat ini belum dapat diatasi secara tuntas.
Pendidikan
karakter menjadi wacana yang telah lama dibicarakan oleh berbagai pihak dalam
kaitannya dengan generasi Indonesia seperti, apa yang hendak dihasilkan untuk
menggantikan generasi sebelumnya. Wacana pendidikan karakter telah ada pula
sebelum kemerdekaan atau sebelum terbentuknya Republik Indonesia. Diantaranya
adalah tokoh pendidikan nasional yang turut serta memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia melalui bidang pendidikan, yang merupakan bapak pendidikan Nasional
yaitu Ki Hajar Deawantara. Sepak terjang Ki Hajar Dewantara di dunia pendidikan
sudah tidak diragukan lagi, peranan Ki Hajar Dewantara sangat besar dalam
sejaran pendidikan tanah air.
Ki
Hajar Dewantara menyebutkan bahwa pendidikan adalah:
“Menuntun segala kekuatan kodrat jang ada pada anak-anak itu, agar
mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai
keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya”
(Tamansiswa,
1977 : 20).
Ki
Hajar Dewantara mengungkapkan pengertian pendidikan adalah:
”Pendidikan,
umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan
batin dan karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak; dalam pengertian Taman
siswa tidak boleh dipisah-pisahkan bagian-bagian itu agar supaya kita dapat
memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang
kita didik selaras dengan dunianya”( Tamansiswa, 1977: 14).
Definisi
pendidikan yang dikembangkan Ki Hajar Dewantara, menunjukkan bahwa Ki Hajar
Dewantara memandang pendidikan moral sebagai suatu proses yang dinamis dan
berkesinambungan. Disini tersirat pula wawasan kemajuan, karena sebagai proses
pendidikan harus mampu menyesuaikan diri dengan tuntunan kemajuan zaman.
Keseimbangan unsur cipta, rasa dan karsa yang tidak dapat dipisah-pisahkan ini
memperlihatkan bahwa Ki Hajar Dewantara tidak memandang pendidikan hanya
sebagai proses penulasan atau transfer ilmu pengetahuan transfer of
knowladge. Hal ini sesuai dengan kondisi yang dihadapi oleh Ki Hajar
Dewantara bahwa pendidikan pada masa itu (kolonial Belanda) penuh dengan
semangat keduniawian (materialism), penalaran (intellectual)
Ki
Hajar Dewantara mendefinisikan pendidikan adalah sebagai daya dan upaya yang
dilakukan untuk memajukan bertumbuhnya budipekerti, kekuatan batin, karakter,
pikiran dan tubuh anak agar dapat mencapai kesempurnaan hidup, yaitu kehidupan
dan penghidupan anak-anak peserta didik dapat selaras dengan dunianya
(Tamansiswa. 1967:15).
Pendidikan
yang dimaksud oleh Ki Hajar Dewantara memperhatikan keseimbangan cipta, rasa,
dan karsa tidak hanya sekedar proses alih ilmu pengetahuan saja atau transfer
of knowledge, tetapi sekaligus pendidikan juga sebagai proses
transformasinilai (transformation of value). Dengan kata lain pendidikan
adalah proses pembentukan karakter manusia agar menjadi sebenar-benar manusia.
Sedangkan
karakter dalam istilah sederhananya adalah pendidikan budi pekerti, kata
karakter berasal dari bahasa inggris character, artinya watak. Ki Hajar
Dewantara telah jauh berpikir dalam masalah pendidikan karakter, mengasah
kecerdasan budi sungguh baik, karena dapat membangun budi pekerti yang baik dan
kokoh, hingga dapat mewujudkan kepribadian (persoonlijkhheid) dan
karakter (jiwa yang berasas hukum kebatinan). Jika itu terjadi orang akan
senantiasa dapat mengalahkan nafsu dan tabiat-tabiatnya yang asli bengis,
murka, pemarah, kikir, keras, dan lain-lain (Tamansiswa. 1977: 24).
Tujuan
pendidikan karakter
Tujuan
pendidikan bagi Ki Hajar Dewantara adalah membangun anak didik menjadi manusia
yang merdeka lahir batin, luhur akal budinya serta sehat jasmaninya untuk
menjadi anggota masyarakat yang berguna dan bertanggung jawab atas
kesejahteraan bangsa, tanah air serta manusia pada umumnya (Suparlan. 1984:
109). Ki Hajar Dewantara mengungkapkan bahwa pendidikan merupakan proses
pembudayaan yaitu suatu usaha memberikan nilai-nilai luhur kepada generasi baru
dalam masyarakat yang tidak hanya bersifat pemeliharaan tetapi juga dengan
maksud memajukan serta memperkembangkan kebudayaan menuju kearah keluhuran budaya
manusia.
Upaya
kebudayaan (pendidikan) dapat ditempuh dengan sikap yang dikenal dengan teori
Trikon, yaitu ;
1)
Kontinuitas
yang berarti bahwa garis hidup kita sekarang harus merupakan lanjutan dari
kehidupan kita pada zaman lampau berikut penguasaan unsur tiruan dari kehidupan
dan kebudayaan bangsa lain,
2)
Konvergensi
yaitu berarti kita harus menghindari hidup menyendiri, terisolasi dan mampu
menuju kearah pertemuan antar bangsa dan komunikasi antar negara menuju
kemakmuran bersama atas dasar saling menghormati, persamaan hak, dan
kemerdekaan masing-masing,
3)
Konsentris
yang berarti setelah kita bersatu dan berkomunikasi dengan bangsa-bangsa lain
di dunia, kita jangan kehilangan kepribadian sendiri. Bangsa Indonesia adalah
masyarakat merdeka yang memiliki adat istiadat dan kepribadian sendiri,
meskipun bertitik pusat satu, namun dalam lingkaran yang konsentris masih tetap
memiliki lingkaran sendiri yang khas yang membedakan negara Indonesia dengan
negara yang lainnya (Tamansiswa. 1977: 206).
Dasar Pendidikan
Sistem
pendidikan Ki Hajar Dewantara dikembangkan berdasarkan lima asas pokok yang
disebut Pancadarma Taman Siswa, yang meliputi:
1)
Asas
kemerdekaan,yang berarti disiplin diri sendiri atas dasar nilai hidup yang
tinggi, baik hidup sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat,
2)
Asas
kodrat alam,yang berarti bahwa pada hakikatnya manusia itu sebagai makluk,
adalah satu dengan kodrat alam. Manusia tidak dapat lepas dari kodrat alam dan
akan berbahagia apabila dapat menyatukan diri dengan kodrat alam yang
mengandung kemajuan itu. Oleh karena itu, setiap individu harus berkembang
dengan sewajarnya (Suparlan. 1984 :105),
3)
Asas
kebudayaan,yang berarti bahwa pendidikan harus membawa kebudayaan kebangsaan
itu ke arah kemajuan yang sesuai dengan kecerdasan zaman, kemajuan dunia dan
kepentingan hidup lahir dan batin rakyat pada setiap zaman dan keadaan,
4)
Asas
kebangsaan,yang berarti tidak boleh bertentangan dengan kemanusiaan, malah
harus menjadi bentuk kemanusiaan yang nyata. Oleh karena itu asas kebangsaan
ini tidak mengandung arti permusuhan dengan bangsa lain melainkanmengandung
rasa satu dengan bangsa sendiri, satu dalam suka dan duka, rasa satu dalam
kehendak menuju kepada kebahagiaan hidup lahir dan batin seluruh bangsa,
5)
Asas
kemanusiaan,yang menyatakan bahwa darma setiap manusia itu adalah perwujudan
kemanusiaan yang harus terlihat pada kesucian batin dan adanya rasa cinta kasih
terhadap sesama manusia dan terhadap makluk ciptaan Tuhan seluruhnya
(Surjomihardjo.1986: 88).
Pokok ajaran
1) Ing ngarsa
sung tulada
Berarti guru
sebagai pemimpin (pendidik) berdiri di depan dan harus Semboyan Ki Hajar
Dewantara yang tidak kalah penting adalah konsep dasar pendidikan karakter yang
sekaligus diterima sebagai prinsip kepemimpinan bangsa Indonesia yang dikenal
sebagai sistem among, yang antara lain berbunyi:
mampu memberi
teladan kepada anak didiknya. Guru harus bisa menjaga tingkah lakunya supaya
bisa menjadi teladan. Dalam pembelajaran, apabila guru mengajar menggunakan
metode ceramah, guru harus benar-benar siap dan tahu bahwa yang diajarkannya
itubaik dan benar.
2) Ing madya
mangun karsa
Berarti bahwa
seorang pemimpin (pendidik) ketika berada di tengah harus mampu membangkitkan
semangat, berswakarsa dan berkreasi pada anak didik. Hal ini dapat diterapkan
bila guru menggunakan metode diskusi. Sebagai nara sumber dan sebagai pengarah
guru dapat memberi masukan-masukan dan arahan,
3)
Tut wuri handayani
Yang berarti
bahwa seorang pemimpin (pendidik) beradadi belakang, mengikuti dan mengarahkan
anak didik agar berani berjalan di depan dan sanggup bertanggung jawab. Ketika
guru berada di tengahmembangun semangat, di belakang memberi dorongan, dapat
terjadi anak didik akan berusaha bersaing, berkompetisi menunjukkan
kemampuannya yang terbaik (Soeratman. 1989 : 98).
Sumber
Anisah
Nur.2015. Pendidikan Karakter Dalam
Perspektif Ki Hajar Dewantara. Institut Agama Islam Negeri. Salatiga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar